Monday, April 5, 2010

Pembebanan Pada Struktur

BAB III

PEMBEBANAN PADA STRUKTUR

3.1. Karakteristik Beban

Tujuan utama dari rancang bangun struktur adalah untuk menyediakan ruang agar dapat digunakan untuk berbagai macam fungsi, aktifitas atau keperluan. Contoh dari pemanfaatan struktur antara lain adalah :

§ Struktur bangunan gedung (building) yang digunakan untuk tempat hunian atau beraktifitas,

§ Struktur jembatan (bridge) atau terowongan (tunnel) yang digunakan untuk menghubungkan suatu tempat dengan tempat lainnya.

§ Struktur bendungan, yang digunakan untuk penampungan dan pengelolaan / pemanfaatan air, dan masih banyak lagi bentuk struktur.

Karena struktur terbuat dari bahan yang bermassa, maka struktur akan dipengaruhi oleh beratnya sendiri. Berat sendiri dari struktur dan elemen-elemen struktur disebut sebagai beban mati (dead load) . Selain beban mati, struktur dipengaruhi juga oleh beban-beban yang terjadi akibat penggunaan ruangan. Beban ini disebut sebagai beban hidup (live load). Selain itu struktur dipengaruhi juga oleh pengaruh-pengaruh dari luar akibat kondisi-kondisi alam seperti pengaruh angin, salju, gempa, atau dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, serta kondisi lingkungan yang merusak (misalnya pengaruh bahan kimia, kelembaban, atau pengkaratan).

Dalam meninjau suatu beban, kita tidak boleh hanya menentukan besaran atau intensitasnya saja, tetapi juga harus meninjau dalam kondisi bagaimana beban tersebut diterapkan pada struktur.

Sehubungan dengan sifat elastisitas dari bahan-bahan struktur, setiap sistem atau elemen struktur akan berdeformasi jika dibebani, dan akan kembali kebentuknya yang semula jika beban yang bekerja dihilangkan. Oleh karena itu struktur mempunyai kecenderungan untuk bergoyang kesamping (sidesway), atau melentur ke bawah (deflection ) jika dibebani.

Waktu yang diperlukan oleh struktur untuk melakukan suatu goyangan lengkap, disebut periode getar atau waktu getar struktur. Suatu struktur biasanya mempunyai sejumlah periode getar, dimana periode getar yang terpanjang disebut periode dasar atau periode alami (fundamental period). Pada umumnya bangunan-bangunan Teknik Sipil mempunyai kekakuan lateral yang beraneka ragam, sehingga mempunyai periode getar yang berlainan juga. Periode getar dari struktur bangunan Teknik Sipil, pada umumnya berkisar antara 0,2 detik untuk bangunan yang rendah atau sangat kaku, sampai 9 detik untuk bangunan yang sangat tinggi atau sangat fleksibel.

3.2. Jenis – Jenis Beban

3.2.1. Beban Mati

Untuk keperluan analisis dan desain struktur bangunan, besarnya beban mati harus ditaksir atau ditentukan terlebih dahulu. Beban mati adalah beban-beban yang bekerja vertikal ke bawah pada struktur dan mempunyai karakteristik bangunan, seperti misalnya penutup lantai, alat mekanis, dan partisi. Berat dari elemen-elemen ini pada umumnya dapat diitentukan dengan mudah dengan derajat ketelitian cukup tinggi. Untuk menghitung besarnya beban mati suatu elemen dilakukan dengan meninjau berat satuan material tersebut berdasarkan volume elemen. Berat satuan (unit weight) material secara empiris telah ditentukan dan telah banyak dicantumkan tabelnya pada sejumlah standar atau peraturan pembebanan. Volume suatu material biasanya dapat dihitung dengan mudah, tetapi kadang kala akan merupakan pekerjaan yang berulang dan membosan­kan.

Berat satuan atau berat sendiri dari beberapa material konstruksi dan komponen bangunan gedung dapat ditentukan dari peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983 atau peraturan tahun 1987. Informasi mengenai berat satuan dari berbagai material konstruksi yang sering digunakan perhitungan beban mati dicantumkan berikut ini.

­ Baja = 7850 kg/m3

­ Beton = 2200 kg/m3

­ Batu belah = 1500 kg/m3

­ Beton bertulang = 2400 kg/m3

­ Kayu = 1000 kg/m3

­ Pasir kering = 1600 kg/m3

­ Pasir basah = 1800 kg/m3

­ Pasir kerikil = 1850 kg/m3

­ Tanah = 1700 - 2000 kg/m3

Berat dari beberapa komponen bangunan dapat ditentukan sebagai berikut :

­ Atap genting, usuk, dan reng = 50 kg/m2

­ Plafon dan penggantung = 20 kg/m2

­ Atap seng gelombang = 10 kg/m2

­ Adukan/spesi lantai per cm tebal = 21 kg/m2

­ Penutup lantai/ubin per cm tebal = 24 kg/m2

­ Pasangan bata setengah batu = 250 kg/m2

­ Pasangan batako berlubang = 200 kg/m2

­ Aspal per cm tebal = 15 kg/m2

3.2.2. Beban Hidup

Fungsi dari elemen struktur khususnya pelat lantai, adalah untuk mendukung beban-beban hidup yang dapat berupa berat dari orang-orang atau hunian, perabot, mesin-mesin, peralatan, dan timbunan-timbunan barang.

Beban hidup adalah beban yang bisa ada atau tidak ada pada struktur untuk suatu waktu yang diberikan. Meskipun dapat berpindah-­pindah, beban hidup masih dapat dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur. Beban yang diakibatkan oleh hunian atau penggunaan (occupancy loads) adalah beban hidup. Yang termasuk ke dalam beban penggunaan adalah berat manusia, perabot, barang yang disimpan, dan sebagainya. Beban yang diakibatkan oleh salju atau air hujan, juga temasuk ke dalam beban hidup. Semua beban hidup mempunyai karakteristik dapat berpindah atau, bergerak. Secara umum beban ini bekerja dengan arah vertikal ke bawah, tetapi kadang-kadang dapat juga berarah horisontal.

Beban hidup yang bekerja pada struktur dapat sangat bervariasi, sebagai contoh seseorang dapat berdiri di mana saja dalam suatu ruangan, dapat berpindah-pindah, dapat berdiri dalam satu kelompok. Perabot atau barang dapat berpindah-pindah dan diletakkan dimana saja di dalam ruangan. Dari penjelasan ini, jelas tidak mungkin untuk meninjau secara terpisah semua kondisi pembebanan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu dipakai suatu pendekatan secara statistik untuk menetapkan beban hidup ini, sebagai suatu beban statik terbagi merata yang secara aman akan ekuivalen dengan berat dari pemakaian terpusat maksimum yang diharapkan untuk suatu pemakaian tertentu.

Beban hidup aktual sebenarnya yang bekerja pada struktur pada umumnya lebih kecil dar ipada beban hidup yang direncanakan membebani struktur. Akan tetapi, ada kemungkinan beban hidup yang bekerja sama besarnya dengan beban rencana pada struktur. Jelaslah bahwa struktur bangunan yang sudah direncanakan untuk penggunaan, tertentu harus diperiksa kembali kekuatannya apabila akan dipakai untuk penggunaan lain. Sebagai contoh, bangunan gedung yang semula direncanakan untuk apartemen tidak akan cukup kuat apabila digunakan untuk gudang atau kantor.

Besarnya beban hidup terbagi merata ekuivalen yang harus diperhitungkan pada struktur bangunan gedung, pada umumnya dapat ditentukan berdasarkan standar yang berlaku. Beban hidup untuk bangunan gedung adalah sebagai berikut :

­ beban hidup pada atap = 100 kg/m2

­ Lantai rumah tinggal = 200 kg/m2

­ Lantai sekolah, perkantoran, hotel, asrama, pasar, = 200 kg/m2

rumah sakit

­ Panggung penonton = 500 kg/m2

­ Lantai ruang olah raga, lantai pabrik, bengkel, gudang,

tempat orang berkumpul, perpustakaan, toko buku,

masjid, gereja, bioskop, ruang alat atau mesin = 400 kg/m2

­ Balkon, tangga = 300 kg/m2

­ Lantai gedung parkir : Lantai bawah = 800 kg/m2

Lantai atas = 400 kg/m2

Pada suatu bangunan gedung bertingkat banyak, adalah kecil kemungkinannya semua lantai tingkat akan dibebani secara penuh oleh beban hidup. Demikian juga kecil kemungkinannya suatu struktur bangunan menahan beban maksimum akibat pengaruh angin atau gempa yang bekerja secara bersamaan. Desain struktur dengan meninjau beban-beban maksimum yang mungkin bekerja secara bersamaan, adalah tidak ekonomis. Berhubung peluang untuk terjadinya beban hidup penuh yang membebani semua bagian dan semua elemen struktur pemikul secara serempak selama umur rencana bangunan adalah sangat kecil, maka pedoman-pedoman pembebanan mengijinkan untuk melakukan reduksi terhadap beban hidup yang dipakai.

Reduksi beban dapat dilakukan dengan mengalikan beban hidup dengan suatu koefisien reduksi yang nilainya tergantung pada penggunaan bangunan. Besarnya koefisien reduksi beban hidup untuk perencanaan portal, ditentukan sebagai berikut :

­ Perumahan : rumah tinggal, asrama hotel, rumah sakit = 0,75

­ Gedung pendidikan : sekolah, ruang kuliah = 0,90

­ Tempat pertemuan umum, tempat ibadah, bioskop,

restoran, ruang dansa, ruang pergelaran = 0,90

­ Gedung perkantoran : kantor, bank = 0,60

­ Gedung perdagangan dan ruang penyimpanan :

toko, toserba, pasar, gudang, ruang arsip, perpustakaan = 0,80

­ Tempat kendaraan : garasi, gedung parkir = 0,90

­ Bangunan industri : pabrik, bengkel = 1,00

3.2.3. Beban Angin

Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur bangunan tergantung dari kecepatan angin, rapat massa udara, letak geografis, bentuk dan ketinggian bangunan, serta kekakuan struktur. Bangunan yang berada pada lintasan angin, akan menyebabkan angin berbelok atau dapat berhenti. Sebagai akibatnya, energi kinetik dari angin akan berubah menjadi energi potensial, yang berupa tekanan atau hisapan pada bangunan.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi besarnya tekanan dan isapan pada bangunan pada saat angin bergerak adalah kecepatan angin. Besarnya kecepatan angin berbeda-beda untuk setiap lokasi geografi. Kecepatan angin rencana biasanya didasarkan untuk periode ulang 50 tahun. Karena kecepatan angin akan semakin tinggi dengan ketinggian di atas tanah, maka tinggi kecepatan rencana juga demikian. Selain itu perlu juga diperhatikan apakah bangunan itu terletak di perkotaan atau di pedesaan. Seandainya kecepatan angin telah diketahui, tekanan angin yang bekerja pada bagunan dapat ditentukan dan dinyatakan dalam gaya statis ekuivalen.

Pola pergerakan angin yang sebenarnya di sekitar bangunan sangat rumit, tetapi konfigurasinya telah banyak dipelajari serta ditabelkan. Karena untuk suatu bangunan, angin menyebabkan tekanan maupun hisapan, maka ada koefisien khusus untuk tekanan dan hisapan angin yang ditabelkan untuk berbagai lokasi pada bangunan.

Untuk memperhitungkan pengaruh dari angin pada struktur bangunan, pedoman yang berlaku di Indonesia mensyaratkan beberapa hal sebagai berikut :

­ Tekanan tiup angin harus diambil minimum 25 kg/m2

­ Tekanan tiup angin di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai, harus diambil minimum 40 kg/m2

Untuk tempat-tempat dimana terdapat kecepatan angin yang mungkin mengakibatkan tekanan tiup yang lebih besar. Tekanan tiup angin (p) dapat ditentukan berdasarkan rumus empris :

p = (kg/m2)

dimana V adalah kecepatan angin dalam satuan m/detik.

Berhubung beban angin akan menimbulkan tekanan dan hisapan, maka berdasarkan percobaan-percobaan, telah ditentukan koefisien-koefisien bentuk tekanan dan hisapan untuk berbagai tipe bangunan dan atap. Tujuan dari penggunaan koefisien-koefisien ini adalah untuk menyederhanakan analisis. Sebagai contoh, pada bangunan gedung tertutup, selain dinding bangunan, struktur atap bangunan juga akan mengalami tekanan dan hisapan angin, dimana besarnya tergantung dari bentuk dan kemiringan atap (Gambar 3.1). Pada bangunan gedung yang tertutup dan rumah tinggal dengan tinggi tidak lebih dari 16 m, dengan lantai-lantai dan dinding-dinding yang memberikan kekakuan yang cukup, struktur utamanya ( portal ) tidak perlu diperhitungkan terhadap angin.


Gambar 3.1. Koefisien angin untuk tekanan dan hisapan pada bangunan

Pada pembahasan di atas, pengaruh angin pada bangunan dianggap sebagai beban-beban statis. Namun perilaku dinamis sebenarnya dari angin, merupakan hal yang sangat penting. Efek dinamis dari angin dapat muncul dengan berbagai cara. Salah satunya adalah bahwa angin sangat jarang dijumpai dalam keadaan tetap (steady­state). Dengan demikian, bangunan gedung dapat mengalami beban yang berbalik arah. Hal ini khususnya terjadi jika gedung berada di daerah perkotaan. Seperti diperlihatkan pada Gambar 3.1, pola aliran udara di sekitar gedung tidak teratur. Jika gedung-gedung terletak pada lokasi yang berdekatan, pola angin menjadi semakin kompleks karena dapat terjadi suatu aliran yang turbulen di antara gedung-gedung tersebut.. Aksi angin tersebut dapat menyebabkan terjadinya goyangan pada gedung ke berbagai arah.

Angin dapat menyebabkan respons dinamis pada bangunan sekalipun angin dalam keadaan mempunyai kecepatan yang konstan.. Hal ini dapat terjadi khususnya pada struktur-struktur yang relatif fleksibel, seperti struktur atap yang menggunakan kabel. Angin dapat menyebabkan berbagai distribusi gaya pada permukaan atap, yang pada gulirannya dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, baik perubahan kecil maupun perubahan yang besar. Bentuk baru tersebut dapat menyebabkan distribusi tekanan maupun tarikan yang berbeda, yang juga dapat menyebabkan perubahan bentuk. Sebagai akibatnya, terjadi gerakan konstan atau flutter (getaran) pada atap. Masalah flutter pada atap merupakan hal penting dalam mendesain struktur fleksibel tersebut. Teknik mengontrol fenomena flutter pada atap mempunyai implikasi yang cukup besar dalam desain. dengan Efek dinamis angin juga merupakan masalah pada struktur bangunan gedung bertingkat banyak, karena adanya fenomena resonansi yang dapat terjadi.

Besarnya koefisien reduksi beban hidup untuk perhitungan Wt, ditentukan sebagai berikut :

- Perumahan / penghunian : rumah tinggal, asrama, hotel, rumah sakit = 0,30

­ Gedung pendidikan : sekolah, ruang kuliah = 0,50

­ Tempat pertemuan umum, tempat ibadah, bioskop, = 0,50

restoran, ruang dansa, ruang pergelaran

­ Gedung perkantoran : kantor, bank =0,5

­ Gedung perdagangan dan ruang penyimpanan, toko,

toserba, pasar, gudang, ruang arsip, perpustakaan = 0,80

­ Tempat kendaraan : garasi, gedung parkir = 0,50

­ Bangunan industri : pabrik, bengkel = 0,90

2.3. Kombinasi Pembebanan

Ada berbagai jenis beban yang dapat bekerja pada setiap struktur bangunan. Hal penting dalam menentukan beban desain pada struktur adalah dengan pertanyaan, apakah semua beban tersebut bekerja secara simultan atau tidak. Beban mati akibat berat sendiri dari struktur harus selalu diperhitungkan. Sedangkan beban hidup besarnya selalu berubah-ubah tergantung dari penggunaan dan kombinasi beban hidup. Sebagai contoh, adalah tidak wajar merancang struktur bangunan untuk mampu menahan beban maksimum yang diakibatkan oleh gempa dan beban angin maksimum, serta sekaligus memikul beban hidup dalam keadaan penuh. Kemungkinan bekerjanya beban-beban maksimum pada struktur pada saat yang bersamaan adalah sangat kecil. Struktur bangunan dapat dirancang untuk memikul semua beban maksimum yang bekerja secara simultan. Tetapi struktur yang dirancang demikian akan mempunyai kekuatan yang sangat berlebihan untuk memikul kombinasi pembebanan yang secara nyata mungkin terjadi selama umur rencana struktur. Dari sudut pandang rekayasa struktur, desain struktur dengan pembebanan seperti ini adalah tidak realistis dan sangat mahal. Berkenaan dengan hal ini, maka banyak peraturan yang merekomendasikan untuk mereduksi beban desain pada kombinasi pembebanan tertentu.

Untuk pembebanan pada bangunan gedung bertingkat banyak, sangat tidak mungkin pada saat yang sama semua lantai memikul beban hidup yang maksimum secara simultan. Oleh karena itu diijinkan untuk mereduksi beban hidup untuk keperluan perencanaan elemen-elemen struktur dengan memperhatikan pengaruh dari kombinasi pembebanan dan penempatan beban hidup.

Untuk kombinasi pembebanan tertentu sering kali diizinkan untuk mereduksi gaya desain total dengan faktor tertentu. Sebagai contoh, bukan kombinasi 1,0 (beban mati + beban hidup + beban gempa atau angin) yang digunakan untuk perhitungan, melainkan 0,75 (beban mati + beban hidup + beban gempa atau angin) sebagaimana yang disyaratkan oleh banyak peraturan. Yang dimaksudkan dengan ekspresi ini adalah bahwa tidak semua beban akan bekerja pada struktur pada harga maksimumnya secara simultan, mengingat beban gempa atau beban angin adalah beban yang bersifat sementara. Sebaliknya struktur harus direncanakan untuk memikul kombinasi beban mati dan hidup penuh yang bekerja secara simultan, atau diekspresikan sebagai 1,0 (beban mati + beban hidup). Untuk perencanaan struktur bangunan, pada umumnya banyak kombinasi pembebanan yang harus ditinjau di dalam analisis. Elemen-elemen struktur harus direncanakan untuk memikul kombinasi pembebanan terburuk yang mungkin terjadi.

3.3.1. Kombinasi Pembebanan Pada Struktur Portal

Di Indonesia, pada umumnya umur rencana dari struktur bangunan rata-rata adalah 50 tahun. Oleh karena itu selama umur rencananya, struktur bangunan harus mampu untuk menerima atau memikul berbagai macam kombinasi pembebanan (load combination) yang mungkin terjadi. Beban-beban yang bekerja pada struktur bangunan, dapat berupa kombinasi dari beberapa kasus beban (load case) yang terjadi secara bersamaan. Untuk memastikan bahwa suatu struktur bangunan dapat bertahan selama umur rencananya, maka pada proses perancangan dari struktur, perlu ditinjau beberapa kombinasi pembebanan yang mungkin terjadi pada struktur.

Sebagai contoh, pada buku Tatacara Perencanaan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung – SNI 03-2847-2002, disebutkan bahwa kombinasi pembebanan yang harus diperhitungkan pada perancangan struktur bangunan gedung adalah :

· Kombinasi Pembebanan Tetap

Pada kombinasi Pembebanan Tetap ini, beban yang harus diperhitungkan bekerja pada struktur adalah :

U = 1,4 D

U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

· Kombinasi Pembebanan Sementara

Pada kombinasi Pembebanan Sementara ini, beban yang harus diperhitungkan bekerja pada struktur adalah :

U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5 (A atau R)

U = 0,9 D ± 1,6 W

U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E

U = 0,9.D ± 1,0 W

U = 1,4 (D + F)

U = 1,2 (D + T) + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

dimana D = Beban mati, L = Beban hidup, A = Beban atap, R = Beban hujan, W = Beban angin, E = Beban gempa, F = tekanan fluida, T = Perbedaan penurunan pondasi, perbedaan suhu, rangkak dan susut beton. Koefisien 1,0, 1,2, 1,6, 1,4, merupakan faktor pengali dari beban-beban tersebut, yang disebut faktor beban (load factor). Sedangkan faktor 0,5 dan 0,9 merupakan faktor reduksi.

Sistem struktur dan elemen struktur harus diperhitungkan terhadap dua kombinasi pembebanan, yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara. Momen lentur (Mu), momen torsi atau puntir (Tu), gaya geser (Vu), dan gaya normal (Pu) yang terjadi pada elemen-elemen struktur akibat kedua kombinasi pembebanan yang ditinjau, dipilih yang paling besar harganya, untuk selanjutnya digunakan pada proses desain.

Untuk keperluan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan gedung, perlu dilakukan perhitungan mekanika rekayasa dari portal beton dengan dua kombinasi pembebanan yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara. Kombinasi pembebanan untuk perencanaan struktur bangunan gedung yang sering digunakan di Indonesia adalah U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) dan U = 1,2 D + 1,0.L ± 1,0 E. Pada umumnya, sebagai gaya horisontal yang ditinjau bekerja pada sistem struktur portal adalah beban gempa, karena di Indonesia beban gempa lebih besar dibandingkan dengan beban angin. Beban gempa yang bekerja pada sistem struktur dapat berarah bolak-balik, oleh karena itu pengaruh ini perlu ditinjau di dalam perhitungan. Beban mati dan beban hidup selalu berarah ke bawah karena merupakan beban gravitasi, sedangkan beban angin atau beban gempa merupakan beban yang berarah horisontal.

3.4. Pengaruh Arah Pembebanan Gempa

Untuk memperhitungkan pengaruh arah gempa yang kemungkinan tidak searah sumbuh utama struktur gedung, SNI 1726 Ps 5.8.2 menetapkan pengaruh pembebanan searah sumbu utama harus dianggap terjadi bersamaan dengan 30% pengaruh pembebanan tadi.

UBC section 1633. 1 memberi kemudahan 2 cara menggabungkan 2 pengaruh pembebanan tersebut sebagai berikut :

( 1 ) Disain komponen dengan 100% beban disain gempa pada satu arah ditambah 30% beban disain gempa dari arah tegak lurus atau

( 2 ) Gabung pengaruh beban gempa dari dua arah orthogonal tersebut dari hasil akar dua dari jumlah kuadrat masing-masing beban.

UBC membebaskan ketentuan beban tambahan bila beban aksial kolom akibat beban gempa yang bekerja pada masing-masing arah ternyata lebih kecil dari 20% kapasitas beban aksial kolom.

3.5. Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon

Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan. Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar lampiran 3-1, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan dalam Gambar Lampiran

Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak dari tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun di daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa yang telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona subduksi, sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-sesar aktif yang sudah teridentifikasi.

Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa garis-garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun (periode ulang Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa. Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah ditetapkan berturut-turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan percepatan batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (Ao) untuk Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti yang tercantum pada Tabel 3-1.

Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk Wilayah Gempa 5&6 yang ditetapkan dalam Tabel 3-1, ditetapkan juga sebagai percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut. Jadi beban gempa yang disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di dalam peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah Gempa tinggi, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa setiap struktur gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal pada taraf masing-masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini, maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat rendah (gedung dengan periode getar T yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 5&6 dan di atas Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan daktilitas sebagaian / parsial), harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar 0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015. Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di Singapura. Dengan demikian, standar gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara kontinuitas kegempaan regional lintas batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah Gempa 5&6 merupakan daerah yang memiliki gempa tinggi.

Tabel 3.1. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing Wilayah Gempa Indonesia

Wilayah Gempa

Percepatan puncak batuan dasar

(‘g’)

Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)

Tanah Keras

Tanah Sedang

Tanah Lunak

Tanah Khusus

1

2

3

4

5

6

0,03

0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

0,04

0,12

0,18

0,24

0,28

0,33

0,05

0,15

0,23

0,28

0,32

0,36

0,08

0,20

0,30

0,34

0,36

0,38

Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Lampiran 3-2. Dalam gambar tersebut C adalah Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.

Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing Wilayah Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan respons maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK akibat Gempa Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman kritis sebesar 5%.

Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku, sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai maksimum, kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk mempermudah penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa 2002 telah diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 £ T £ 0,2 detik, C meningkat secara linier dari Ao sampai Am; untuk 0,2 detik £ T £ Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan respons maksimum atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao, sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan. Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik.


Gambar 3-3. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa


Spektrum Respon Gempa Rencana

( Diambil Dari SNI 03 – 1726 – 2002 )

Tabel 3.2. Spektrum Respons Gempa Rencana

Wilayah Gempa

Tanah Keras

Tc = 0,5 det

Tanah Sedang

Tc = 0,6 det.

Tanah Lunak

Tc = 1,0 det.

Am

Ar

Am

Ar

Am

Ar

1

2

3

4

5

6

0,10

0,30

0,45

0,60

0,70

0,83

0,05

0,15

0,23

0,30

0,35

0,42

0,13

0,38

0,55

0,70

0,83

0,90

0,08

0,23

0,33

0,42

0,50

0,54

0,20

0,50

0,75

0,85

0,90

0,95

0,20

0,50

0,75

0,85

0,90

0,95

No comments: